Perubahan
menyangkut mengenai bahasa sebagai kode, dimana sesuai dengan salah satu
sifatnya yang dinamis, dan sebagi akibat persentuhan dengan kode-kode lain.
Maka, bahasa itu berubah. Pergeseran bahasa menyangkut masalah mobitas
penutur,sebagai akibat dari perpindahan penutur atau para penutur itu sendiri
yang menyebabkan terjadinya pergeseran itu. Sedangkan pemertahanan bahasa lebih
menyangkut masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa, untuk tetap
menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa-bahasa lainnya.
1.
Perubahan Bahasa
Terjadinya
sebuah perubahan bahasa itu sulit untuk diamati, sebab perubahan itu, sudah
menjadi sifat hakiki bahasa, berlangsung dalam masa waktu yang relatif lama,
sehingga tidak mungkin diobservasi oleh seseorang yang mempunyai waktu relatif
terbatas. Bukti adanya perubahan bahasa itu pun terbatas pada bahasa-bahasa
yang mempunyai tradisi tulis, dan mempunyai dokumen tertulis dari masa-masa
yang sudah lama berlalu. perubahan bahasa lazim diartikan sebagi adanya perubahan
kaidah, entah kaidahnya itu direvisi, menghilang, atau munculnya kaidah baru,
dan semuanya itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik, seperti fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon.
A.
Perubahan Fonologi
Dalam
bahasa Inggris, kata (night) dulu dilafakan (nixt), kata (drought) dulu
dilafalkan (druxt), dan kata (saw) dulu dilafalkan (saux). Ini menjadi bukti
adanya perubahan, yaitu dengan menghilangkan huruf (x), yang tadinya ada
menjadi tidak ada. Perubahan bunyi dalam sistem fonologi bahasa Indonesia pun
dapat kita lihat. Bahasa Indonesia lama hanya mengenal empat pola silabel,
yaitu V, VK, KV, dan KVK. Sedangkan hari ini ada tambahan pola lain yaitu, KKV,
KKVK, VKK, KVKK, KKKV, KKVKK.
B.
Perubahan Morfologi
Seperti halnya diulas dimuka bahwasanya perubahan bahasa
menyangkut bahasa sebagai kode, dimana sesuai dengan sifatnya yang dinamis, dan
sebagai akibat persentuhan dengan kode-kode lain, bahasa itu berubah.
·
Perubahan bahasa bias juga terjadi pada tataran morfologi,
yakni dalam proses pembentukan
kata.
·
Dalam bahasa Indonesia, misalkan, terjadi dalam penasalan
prefiks me- dan pe-kaidahnya adalah:
1. Apabila diimbuhkan dengan kata yang
diawali dengan konsonan /l/, /r/ ,/w/ dan /y/, tidak terjadi penasalan.
2. Apabila diimbuhkan dengan kata yang
diawali dengan konsonan /b/, dan /p/, diberi nasal /m/.
3. Apabila diimbuhkan dengan kata yang
diawali dengan konsonan /d/, dan /t/, diberi nasal /n/.
4. Apabila diimbuhkan dengan kata yang
diawali dengan konsonan /s/, diberi nasal /ny/; Apabila diimbuhkan dengan kata
yang diawali dengan konsonan /g/, /k/, /h/, dan semua huruf vocal diberi nasal
/ng/.
·
Bahasa Indonesia menjadi sulit menerapkan kaidah ini
manakala sudah menyerap bahasa asing yang bersuku (syllable) satu seperti kata
bom, tik, dan sah yang menyebabkan timbulnya alomorf baru menge- dan penge-.
·
Para ahli bahasa tradisional tidak menerima alomorf tersebut
dan mengkategorikannya sebagai perusak kaidah bahasa Indonesia.
C.
Perubahan sintaksis.
·
Adanya perubahan gramatikal bahasa.
·
Dalam bahasa Indonesia, umpamanya, menurut kaidah sintaksis
yang sudah berlaku bahwasanya kata kerja transitif harus selalu mempunyai
objek. Contoh: sekretaris itu sedang mengetik diruangannya.
·
Kata kerja aktif transitif diatas menurut kaidah yang
berlaku harus selalu diikuti oleh objek.
D.
Perubahan Kosakata
Perubahan
kosakata dapat berarti bertambahnya kosakata baru, hilangnya kosakata lama, dan
berubahnya makna kata. Perubahan kosakata atau penambahan kosakata terjadi
karena:
1. Proses penyerapan atau peminjaman
kosakata. Misalnya kata “algebra” dipinjam dari bahasa Arab dan diserap oleh
bahasa Inggris.
2. Proses penciptaan. Misalkan kata
“frigidaire” berasal dari “frigid” plus “air”.
3. Pemendekan dari kata atau frase yang
panjang. Misalkan “prof” dari kata “professor”.
4. Proses akronim. Misalkan kata ABRI
dan UNESCO.
5. Proses penggabungan utuh. Misalkan
kata “afternoon” dan “matahari”.
6. Proses penggabungan dengan
penyingkatan. Misalkan “motel” dari kata “motor” plus “hotel”.
Bahasa
juga mengalami pengurangan atau kehilangan kosakatanya. Terdapat beberapa
kosakata yang dulu digunakan namun sekarang sudah tidak digunakan lagi.
Misalnya kata “kempa” yang artinya “stempel/cap”, dan “tingkap” yang artinya
“jendela”, dan masih banyak yang lainnya.
E.
Perubahan semantik
Perubahan
semantik yang umum adalah berupa perubahan pada makna butir-butir leksikal yang
mungkin berubah total, meluas atau menyempit. Perubahan semantik dibagi
menjadi:
1. Berubah total
Makna kata
benar-benar berubah seluruhnya. Misalnya kata “pena” dulu bermakna “bulu
(angsa)”, namun sekarang menjadi “alat tulis”.
1. Perluasan makna
Dulu kata
tersebut hanya memiliki satu makna, namun sekarang mempunyai lebih dari satu
makna. Misalnya kata “saudara”. Dulu hanya untuk orang yang lahir dari ibu yang
sama, namun sekarang berarti juga “kamu”.
1. Penyempitan makna
Pada
mulanya suatu kata memiliki makna yang luas, namun sekarang menjadi menyempit.
Misalnya kata “sarjana” yang dulu bermakna “orang yang pandai”, namun sekarang
bermakna “orang yang lulus dari perguruan tinggi”.
Wardhaught
membedakan adanya dua macam perubahan bahasa, yaitu perubahan internal dan
perubahan eksternal. Perubahan internal terjadi dalam bahasa itu sendiri,
seperti berubahnya sistem fonologi, morfologi dan sintaksis. Sedangkan
perubahan eksternal terjadi karena adanya pengaruh dari luar, seperti adanya
penyerapan atau peminjaman kosakata, penambahan fonem dari bahasa lain, dsb.
2. Pergeseran
Bahasa (Language Shift)
Pergeseran
bahasa adalah sebuah peristiwa yang biasanya terjadi pada pelaku tutur yang
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan bahasa yang lain pula.
Biasanya pergeseran bahasa terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi
harapan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Sehingga akhirnya mengundang
para pendatang.
Bila
seorang atau sekelompok pelaku tutur pindah ke tempat lain yang menggunakan
bahasa lain dan bercampur dengan mereka, maka akan terjadilah pergeseran
bahasa, dan gunanya jelas, yakni agar para pendatang dapat meyesuaikan diri
mereka terhadap lingkungan baru, dan salah satu caranya ialah dengan mau tidak
mau menanggalkan bahasa pertama mereka, dan mulai menggunakan bahasa kedua
yakni bahasa setempat. Berikut pola yang diutarakan oleh Fishman berkenaan
dengan peristiwa pergeseran bahasa yang terjadi pada para imigran di Amerika:
Monolingual
=> Bilingual Bawahan => Bilingual Setara => Bilingual Bawahan =>
Monolingual
Pada tahap
pertama para imigran masih bermonolingual dengan bahasa ibunya, selanjutnya
setelah beberapa lama, seperti yang di gambarkan di tahap kedua, mereka sudah
menjadi bilingual bawahan (bahasa ibu dan bahasa Inggris) namun bahasa ibu
tetap mendominasi. Setelah beberapa lama seperti yang digambarkan dalam tahap
ketiga, bilingualisme mereka pun sudah setara (penggunaan bahasa Inggris mereka
sudah sama baiknya dengan ketika mereka menggunakan bahasa ibu mereka).
Selanjutnya seperti yang digambarkan dalam tahap keempat, mereka mulai sudah
menjadi bilingual bawahan namun dengan penguasaan bahasa Inggris yang jauh
lebih baik daripada penguasaan bahasa ibu dan akhirnya, seperti yang ada dalam
kotak kelima, mereka pun menjadi monolingual bahasa inggris sedangkan bahasa
ibu telah mereka tinggalkan.
Para
linguist seperti Danie, Tallei, Yahya, Walker dan Ayatrohaedi dengan hasil
penelitian yang telah mereka lakukan sebelumnya terhadap beberapa daerah
mengutarakan umumnya beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran
bahasa ialah, bahasa itu akan punah ketika tidak ada lagi penutur di dalamnya,
punahnya bahasa juga dipengaruhi oleh arus mobilitas para penuturnya.
3.
Pemertahanan Bahasa
Sumarsono, seorang linguist yang memaparkan pemikirannya
lewat penelitian yang sudah ia lakukan terhadap penduduk yang tinggal di desa
Loloan kota Nagara, Bali. Terdapat sekitar tiga ribu penduduk muslim hidup di
sana yang tidak menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa sehari-sehari mereka,
melainkan menggunakan bahasa Melayu Loloan sebagai bahasa B1 mereka yang sudah
berlangsung sejak abad ke-18, dan didapati beberapa faktor yang penyebabnya
antara lain:
1. Wilayah pemukiman mereka
terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis terpisah dari wilayah
pemukiman masyarakat Bali lainnya.
2. Adanya toleransi dari masyarakat
mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu Loloan ketika berkomunikasi
dengan kelompok masyarakat minoritas ini.
3. Anggota masyarakat Loloan memiliki
sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya dan bahasa
Bali.
4. Adanya loyalitas tinggi dari
masyarakat Loloan terhadap bahasa Mealayu Loloan sebagai konsekuensi kedudukan
atau status bahasa ini yang menjadi lambang identitas diri bagi masyarakat
Loloan yang bragama Islam.
5. Adanya kesinambungan pengalihan
bahasa Loloan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya.
Namun
demikian, pemertahanan masyarakat Loloan terhadap bahasa Bali tidak sekuat
dengan pertahanan mereka terhadap bahasa Indonesia karena memang banyak ranah
sosial yang tadinya menggunakan bahasa Loloan atau bahasa Bali tapi kini mulai
menggunakan bahasa Indonesia seperti ranah keluarga, pemerintahan, kekariban,
keagamaan, pendidikan, dan perdagangan. Sehingga dapat disimpulkan:
1. Penggunaan bahasa B2 milik mayoritas
oleh minoritas bilingual tidak selalu mengakibatkan pergeseran atau punahnya B1
milik kelompok minoritas.
2. Penguasaan B2 yang dalam hal ini
adalah bahasa Indonesia oleh kelompok minoritas juga tidak memunahkan B1 namun
hanya menggeser beberapa peran B2 lama (bahasa Bali) dan beberapa peran B1.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan
Leonie Agustina. 2010. Sosiolingistik
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta