Senin, 18 Maret 2013

Perbandingan Bahasa Jawa dengan Bahasa Sunda dari Segi Kata


            Menurut Gorys Keraf dan Abdul Chaer :Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat abitrer,digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerjasama, berkomunikasidan untuk mengidentifikasikan diri (1998:1) Selain itu bahasa merupakan salah satu aspek dari kebudayaan. Sebagai salah satu manifestasi kebudayaan, bahasa memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Ragam bahasa sangat banyak, di Indonesia memiliki banyak suku-suku dan berbeda-beda pula bahasanya. contoh:


Jawa
Sunda
Indonesia
Siji
Loro
Telu
Papat
Limo
Enem
Pitu
Wolu
Songo
Sepuloh
Godong telo
Ireng
Abang
Manis
Njero
Mangan
Dolan
Gedang
Kates
Hiji’
Dua’
Tilu’
Opat
Lima’
Genep
Tujuh
Salapan
Sambilan
Sapuluh
Daun sampe’
Hideng
Berem
Amis
Jero’
Dahar
Ulin
Kates
Papaya’
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Daun ubi
Hitam
Merah
Manis
Dalam
Makan
Main
Pisang
Pepaya

Perbedaan antara bahasa jawa dengan bahasa sunda ada perbedaan dari segi fonemnya saja namun ada yang bahasanya jauh berbeda, dari  segi makna sama. Namun pada kata tertentu ada kesamaan namun maknanya berbeda. Misalnya: pada bahasa jawa kates maknanya “pepaya” namun dalam bahasa sunda kates maknanya “pisang”. Pada kata kates dalam bahasa jawa dan bahasa sunda mempunyai kesamaan fonetis namun dari semantisnya tanpa ada kesamaan.

Jumat, 15 Maret 2013

PELBAGAI VARIASI DAN JENIS BAHASA


1. Variasi Bahasa
            Variasi secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu perbedaan atau keberanekaragaman. Namun secara lebih rinci di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, variasi yaitu tindakan atau hasil perubahan dari keadaan semula, selingan; bentuk yang lain, yang berbeda bentuk (rupa); hiasan tambahan; bio perubahan rupa(bentuk) yang turun temurun pada binatang yang disebabkan oleh perubahan lingkungan; wujud pelbagai manifestasi, baik yang bersyarat maupun tidak bersyarat dari suatu satuan, konsep yang mencakupi variabel dan varian. Variasi tidak hanya terjadi pada suatu barang atau produk, tetapi variasi juga terjadi pada bahasa. Terjadinya variasi bahasa tidak hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat berragam. Dalam hal variasi terjadi dua pandangan yaitu:
a. Variasi bahasa dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa itu.
b. Variasi sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Variasi bahasa dibedakan berdasarkan:

1.1 Variasi dari Segi Penutur
            Variasi bahasa pertama berdasarkan penuturnya adalah variasi yang disebut idiolek yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep ini, orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi idiolek yang paling dominan adalah warna sehingga jika kita cukup akrab dengan seseorang hanya dengan mendengar suara bicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat mengenalinya.
Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah dialek yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah atau area tertentu sehingga disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi. Bidang studi linguistik yang mempelajari dialek-dialek ini adalah dialektologi yang di dalamnya berusaha membuat peta batas-batas dialek dari bahasa yakni dengan cara membandingkan bentuk dan makna kosakata yang digunakan dalam dialek itu.
Variasi bahasa ketiga berdasarkan penutur yaitu kronolek atau dialek temporal yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Variasi bahasa yang keempat berdasarkan penuturnya adalah sosiolek atau dialek sosial yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status dan kelas sosial para penuturnya. Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status dan kelas sosial para penuturnya maka muncul beberapa istilah yaitu;
a. Akrolek yaitu variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi daripada variasi sosial lainnya.
b. Basilek yaitu variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi atau bahkan dianggap rendah.
c. Vulgar yaitu variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar.
d. Slang yaitu variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu.
e. Kolokial yaitu variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari.
f.  Jargon yaitu variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu.
g.  Argot yaitu variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia.
h.  Ken yaitu variasi sosial yang bernada memelas, dibuat merengek-rengek dan penuh dengan kepura-puraan.

1.2 Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam atau register dan digunakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya atau tingkat keformalan serta sarana penggunaan.
Variasi bahasa berdasarkan fungsi lazim disebut register dan biasanya dikaitkan dengan masalah dialek. Kalau dialek berkenaan dengan bahasa itu digunakan oleh siapa, dimana dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa.


1.3 Variasi dari Segi Keformalan
Berdasarkan keformalannya, Martin Joos membagi variasi bahasa menjadi:
a. Frozen yaitu gaya atau ragam baku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap dan tidak boleh diubah.
b. Formal yaitu gaya atau ragam resmi dan biasanya digunakan dalam situasi resmi. Pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar.
c. Konsultatif yaitu gaya atau ragam usaha dan biasa digunakan dalam pembicaraan di sekolah dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi.
d. Casual yaitu gaya atau ragam santai dan digunakan dalam situasi tidak resmi.
e. Intimate yaitu gaya atau ragam akrab dan biasa digunakan oleh penutur yang hubungannya sangat akrab.

1.4 Variasi dari Segi Sarana
            Variasi dari segi sarana dibedakan menjadi ragam lisan dan ragam tulis atau juga dalam ragam berbahasa dengan menggunakan sarana tertentu misalnya dalam bertelefon atau bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini adalah karena dalam bahasa lisan dibantu oleh unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berrupa nada suara, gerak-gerik tangan atau sejumlah gejala fisik lainnya. Lalu, sebagai gantinya harus dieksplisitkan secara verbal.

2. Jenis Bahasa
            Penjenisan bahasa secara sosiolinguistik yaitu menjeniskan bahasa berkenaan dengan faktor-faktor eksternal bahasa yaitu faktor sosiologis, politis dan kultural yang tentunya tidak sama dengan penjenisan secara geneologis maupun tipologis yang menjeniskan bahasa berkenaan dengan ciri-ciri internal bahasa itu.

2.1 Jenis Bahasa Berdasarkan Sosiologis
            Penjenisan berdasarkan faktor sosiologis artinya penjenisan ini tidak terbatas pada struktur internal bahasa tetapi juga berdasarkan faktor sejarahnya, kaitannya dengan sistem linguistik lain dan pewarisan dari generasi satu ke generasi berikutnya.
            Stewart menggunakan empat dasar untuk menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis yaitu:
a. Standardisasi atau pembakuan adalah adanya kondifikasi dan penerimaan terhadap sebuah bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma yang menentukan pemakaian bahasa yang benar. Jadi, standardisasi ini mempersoalkan apakah sebuah bahasa memiliki kaidah-kaidah atau norma-norma yang sudah dikondifikasikan atau tidak yang diterima oleh masyarakat tutur dan merupakan dasar dalam pengajaran bahasa baik sebagai bahasa pertama maupun bahasa kedua.
b. Otonomi atau keotonomian yaitu bila sistem linguistik memiliki kemandirian sistem yang tidak berkaitan dengan bahasa lain. Jadi, kalau dua sistem linguistik atau lebih tidak mempunyai hubungan kesejarahan, maka berarti keduanya memiliki keotonomian masing-masing.
c. Historis atau kesejarahan yaitu bila diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembangan yang normal pada masa yang lalu serta berkaitan dengan tradisi dan etnik tertentu. Jadi, faktor historis mempersoalkan apakah sistem linguistik itu tumbuh melalui pemakaian oleh kelompok etnik atau sosial tertentu atau tidak.
d. Vitalitas atau keterpakaian yaitu pemakaian sistem linguistik oleh suatu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi. Jadi, unsur vitalitas ini mempersoalkan apakah sistem linguistik tersebut memiliki penutur asli yang masih menggunakan atau tidak.
            Jenis bahasa vernakular menurut Pei dan Gaynor adalah bahasa umum yang digunakan sehari-hari oleh satu bangsa atau satu wilayah geografis, yang bisa dibedakan dari bahasa sastra yang dipakai terutama di sekolah-sekolah dan dalam kesusastraan yang ditandai dengan memiliki ciri otonomi, historis dan vitalitas tetapi tidak mempunyai standardisasi.
            Jenis bahasa yang disebut dialek memiliki ciri vitalitas dan historisitas tetapi tidak memiliki ciri standardisasi dan otonomi sebab keotonomian bahasa itu berada di bawah langue bahasa induknya.
Bahasa yang berjenis kreol hanya memiliki vasilitas, tidak memiliki ciri standardisasi, otonomi dan historis. Pada mulanya sebuah kreol berasal dari bahasa pijin yang dalam perkembangannya digunakan pada generasi berikutnya, sebagai satu-satunya alat komunikasi vebal yang mereka kuasai.
            Bahasa berjenis pijin tidak memiliki keempat dasar penjenisan. Bahasa jenis ini terbentuk secara alami di dalam suatu kontak sosial yang terjadi antara sejumlah penutur yang masing-masing memiliki bahasa ibu. Sebuah pijin biasanya terjadi di kota-kota pelabuhan tempat bertemunya pedagang dan pelaut dari berbagai bangsa dan atau suku bangsa yang berlainan dengan bahasa ibunya. Pijin terbentuk sebagai bahasa campuran dari bahasa pelaut dan pedagang itu, serta hanya digunakan sebagai alat komunikasi di antara mereka yang berbahasa ibu berbeda itu.

2.2 Jenis Bahasa Berdasarkan Sikap Politik
            Berdasarkan sikap politik atau sosial politik, bahasa dibedakan menjadi:
a. Bahasa nasional atau bahasa kebangsaan adalah kalau sistem linguistik itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) sebagai salah satu identitas kenasionalan bangsa itu.
b. Bahasa negara adalah sebuah sistem linguistik yang secara resmi dalam undang-undang dasar sebuah negara ditetapkan sebagai alat komunikasi resmi kenegaraan. Artinya, segala urusan kenegaraan, administrasi kenegaraan dan kegiatan-kegiatan kenegaraan dijalankan dengan menggunakan bahasa itu. Pemilihan dan penetapan sebuah sistem linguistik menjadi bahasa negara biasanya dikaitkan dengan keterpakaian bahasa itu yang sudah merata di seluruh wilayah negara itu.
c. Bahasa resmi adalah sebuah sistem linguistik yang ditetapkan untuk digunakan dalam suatu pertemuan seperti seminar, konferensi, rapat dan sebagainya.
d. Bahasa persatuan pengangkatannya dilakukan oleh suatu bangsa dalam rangka perjuangan, di mana bangsa yang berjuang itu merupakan masyarakat yang multilingual. Kebutuhan akan adanya sebuah bahasa persatuan adalah untuk mengikat dan mempererat rasa persatuan sebagai satu kesatuan bangsa.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi dan bahasa persatuan di Indonesia mengacu pada satu sistem linguistik yang sama yaitu bahasa Indonesia.

2.3 Jenis Bahasa Berdasarkan Tahap Pemerolehan
            Berdasarkan tahap pemerolehannya, bahasa dapat dibedakan menjadi:
a. Bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama (disingkat B1) karena bahasa itulah yang pertama-tama dipelajarinya dan terjadi di lingkungan keluarga.
b. Bahasa kedua (disingkat B2) yaitu bahasa lain yang dipelajari setelah memperoleh bahasa pertama.
c. Bahasa ketiga (disingkat B3) yaitu bahasa lain yang dipelajari setelah memperoleh bahsa kedua.
d. Bahasa asing akan selalu merupakan bahasa kedua bagi seorang anak. Di samping itu bahasa asing ini juga bersifat politis yaitu bahasa yang digunakan oleh bangsa lain.

2.4 Lingua Franca
            Lingua franca adalah sebuah sistem linguistik yang digunakan sebagai alat komunikasi sementara oleh para partisipan yang mempunyai bahasa ibu yang berbeda. Pemilihan satu sistem linguistik menjadi sebuah lingua franca adalah berdasarkan adanya kesalingpahaman di antara sesama mereka. Karena dasar pemilihan lingua franca adalah keterpahaman atau kesalingpengertian dari para partisipan yang digunakannya, maka bahasa apapun, baik sebuah langue, pijin maupun kreol dapat menjadi sebuah lingua franca.

Selasa, 12 Maret 2013

PERUBAHAN, PERGESERAN, DAN PEMERTAHANAN BAHASA


Perubahan menyangkut mengenai bahasa sebagai kode, dimana sesuai dengan salah satu sifatnya yang dinamis, dan sebagi akibat persentuhan dengan kode-kode lain. Maka, bahasa itu berubah. Pergeseran bahasa menyangkut masalah mobitas penutur,sebagai akibat dari perpindahan penutur atau para penutur itu sendiri yang menyebabkan terjadinya pergeseran itu. Sedangkan pemertahanan bahasa lebih menyangkut masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa, untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa-bahasa lainnya.

1.  Perubahan Bahasa
Terjadinya sebuah perubahan bahasa itu sulit untuk diamati, sebab perubahan itu, sudah menjadi sifat hakiki bahasa, berlangsung dalam masa waktu yang relatif lama, sehingga tidak mungkin diobservasi oleh seseorang yang mempunyai waktu relatif terbatas. Bukti adanya perubahan bahasa itu pun terbatas pada bahasa-bahasa yang mempunyai tradisi tulis, dan mempunyai dokumen tertulis dari masa-masa yang sudah lama berlalu. perubahan bahasa lazim diartikan sebagi adanya perubahan kaidah, entah kaidahnya itu direvisi, menghilang, atau munculnya kaidah baru, dan semuanya itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon.
A.    Perubahan Fonologi
Dalam bahasa Inggris, kata (night) dulu dilafakan (nixt), kata (drought) dulu dilafalkan (druxt), dan kata (saw) dulu dilafalkan (saux). Ini menjadi bukti adanya perubahan, yaitu dengan menghilangkan huruf (x), yang tadinya ada menjadi tidak ada. Perubahan bunyi dalam sistem fonologi bahasa Indonesia pun dapat kita lihat. Bahasa Indonesia lama hanya mengenal empat pola silabel, yaitu V, VK, KV, dan KVK. Sedangkan hari ini ada tambahan pola lain yaitu, KKV, KKVK, VKK, KVKK, KKKV, KKVKK.
B.     Perubahan Morfologi
Seperti halnya diulas dimuka bahwasanya perubahan bahasa menyangkut bahasa sebagai kode, dimana sesuai dengan sifatnya yang dinamis, dan sebagai akibat persentuhan dengan kode-kode lain, bahasa itu berubah.
·         Perubahan bahasa bias juga terjadi pada tataran morfologi, yakni dalam proses pembentukan kata.
·         Dalam bahasa Indonesia, misalkan, terjadi dalam penasalan prefiks me- dan pe-kaidahnya adalah:
1.      Apabila diimbuhkan dengan kata yang diawali dengan konsonan /l/, /r/ ,/w/ dan /y/, tidak terjadi penasalan.
2.      Apabila diimbuhkan dengan kata yang diawali dengan konsonan /b/, dan /p/, diberi nasal /m/.
3.      Apabila diimbuhkan dengan kata yang diawali dengan konsonan /d/, dan /t/, diberi nasal /n/.
4.      Apabila diimbuhkan dengan kata yang diawali dengan konsonan /s/, diberi nasal /ny/; Apabila diimbuhkan dengan kata yang diawali dengan konsonan /g/, /k/, /h/, dan semua huruf vocal diberi nasal /ng/.
·         Bahasa Indonesia menjadi sulit menerapkan kaidah ini manakala sudah menyerap bahasa asing yang bersuku (syllable) satu seperti kata bom, tik, dan sah yang menyebabkan timbulnya alomorf baru menge- dan penge-.
·         Para ahli bahasa tradisional tidak menerima alomorf tersebut dan mengkategorikannya sebagai perusak kaidah bahasa Indonesia.

C.    Perubahan sintaksis.
·         Adanya perubahan gramatikal bahasa.
·         Dalam bahasa Indonesia, umpamanya, menurut kaidah sintaksis yang sudah berlaku bahwasanya kata kerja transitif harus selalu mempunyai objek. Contoh: sekretaris itu sedang mengetik diruangannya.
·         Kata kerja aktif transitif diatas menurut kaidah yang berlaku harus selalu diikuti oleh objek.


D.    Perubahan Kosakata
Perubahan kosakata dapat berarti bertambahnya kosakata baru, hilangnya kosakata lama, dan berubahnya makna kata. Perubahan kosakata atau penambahan kosakata terjadi karena:
1.      Proses penyerapan atau peminjaman kosakata. Misalnya kata “algebra” dipinjam dari bahasa Arab dan diserap oleh bahasa Inggris.
2.      Proses penciptaan. Misalkan kata “frigidaire” berasal dari “frigid” plus “air”.
3.      Pemendekan dari kata atau frase yang panjang. Misalkan “prof” dari kata “professor”.
4.      Proses akronim. Misalkan kata ABRI dan UNESCO.
5.      Proses penggabungan utuh. Misalkan kata “afternoon” dan “matahari”.
6.      Proses penggabungan dengan penyingkatan. Misalkan “motel” dari kata “motor” plus “hotel”.
Bahasa juga mengalami pengurangan atau kehilangan kosakatanya. Terdapat beberapa kosakata yang dulu digunakan namun sekarang sudah tidak digunakan lagi. Misalnya kata “kempa” yang artinya “stempel/cap”, dan “tingkap” yang artinya “jendela”, dan masih banyak yang lainnya.
E.     Perubahan semantik
Perubahan semantik yang umum adalah berupa perubahan pada makna butir-butir leksikal yang mungkin berubah total, meluas atau menyempit. Perubahan semantik dibagi menjadi:
1.      Berubah total
Makna kata benar-benar berubah seluruhnya. Misalnya kata “pena” dulu bermakna “bulu (angsa)”, namun sekarang menjadi “alat tulis”.
1.      Perluasan makna
Dulu kata tersebut hanya memiliki satu makna, namun sekarang mempunyai lebih dari satu makna. Misalnya kata “saudara”. Dulu hanya untuk orang yang lahir dari ibu yang sama, namun sekarang berarti juga “kamu”.
1.      Penyempitan makna
Pada mulanya suatu kata memiliki makna yang luas, namun sekarang menjadi menyempit. Misalnya kata “sarjana” yang dulu bermakna “orang yang pandai”, namun sekarang bermakna “orang yang lulus dari perguruan tinggi”.
Wardhaught membedakan adanya dua macam perubahan bahasa, yaitu perubahan internal dan perubahan eksternal. Perubahan internal terjadi dalam bahasa itu sendiri, seperti berubahnya sistem fonologi, morfologi dan sintaksis. Sedangkan perubahan eksternal terjadi karena adanya pengaruh dari luar, seperti adanya penyerapan atau peminjaman kosakata, penambahan fonem dari bahasa lain, dsb.

2. Pergeseran Bahasa (Language Shift)
Pergeseran bahasa adalah sebuah peristiwa yang biasanya terjadi pada pelaku tutur yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan bahasa yang lain pula. Biasanya pergeseran bahasa terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Sehingga akhirnya mengundang para pendatang.
Bila seorang atau sekelompok pelaku tutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain dan bercampur dengan mereka, maka akan terjadilah pergeseran bahasa, dan gunanya jelas, yakni agar para pendatang dapat meyesuaikan diri mereka terhadap lingkungan baru, dan salah satu caranya ialah dengan mau tidak mau menanggalkan bahasa pertama mereka, dan mulai menggunakan bahasa kedua yakni bahasa setempat. Berikut pola yang diutarakan oleh Fishman berkenaan dengan peristiwa pergeseran bahasa yang terjadi pada para imigran di Amerika:
Monolingual => Bilingual Bawahan => Bilingual Setara => Bilingual Bawahan => Monolingual
Pada tahap pertama para imigran masih bermonolingual dengan bahasa ibunya, selanjutnya setelah beberapa lama, seperti yang di gambarkan di tahap kedua, mereka sudah menjadi bilingual bawahan (bahasa ibu dan bahasa Inggris) namun bahasa ibu tetap mendominasi. Setelah beberapa lama seperti yang digambarkan dalam tahap ketiga, bilingualisme mereka pun sudah setara (penggunaan bahasa Inggris mereka sudah sama baiknya dengan ketika mereka menggunakan bahasa ibu mereka). Selanjutnya seperti yang digambarkan dalam tahap keempat, mereka mulai sudah menjadi bilingual bawahan namun dengan penguasaan bahasa Inggris yang jauh lebih baik daripada penguasaan bahasa ibu dan akhirnya, seperti yang ada dalam kotak kelima, mereka pun menjadi monolingual bahasa inggris sedangkan bahasa ibu telah mereka tinggalkan.
Para linguist seperti Danie, Tallei, Yahya, Walker dan Ayatrohaedi dengan hasil penelitian yang telah mereka lakukan sebelumnya terhadap beberapa daerah mengutarakan umumnya beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa ialah, bahasa itu akan punah ketika tidak ada lagi penutur di dalamnya, punahnya bahasa juga dipengaruhi oleh arus mobilitas para penuturnya.

3.  Pemertahanan Bahasa

Sumarsono, seorang linguist yang memaparkan pemikirannya lewat penelitian yang sudah ia lakukan terhadap penduduk yang tinggal di desa Loloan kota Nagara, Bali. Terdapat sekitar tiga ribu penduduk muslim hidup di sana yang tidak menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa sehari-sehari mereka, melainkan menggunakan bahasa Melayu Loloan sebagai bahasa B1 mereka yang sudah berlangsung sejak abad ke-18, dan didapati beberapa faktor yang penyebabnya antara lain:
1.      Wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali lainnya.
2.      Adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu Loloan ketika berkomunikasi dengan kelompok masyarakat minoritas ini.
3.      Anggota masyarakat Loloan memiliki sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya dan bahasa Bali.
4.      Adanya loyalitas tinggi dari masyarakat Loloan terhadap bahasa Mealayu Loloan sebagai konsekuensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi lambang identitas diri bagi masyarakat Loloan yang bragama Islam.
5.      Adanya kesinambungan pengalihan bahasa Loloan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya.
Namun demikian, pemertahanan masyarakat Loloan terhadap bahasa Bali tidak sekuat dengan pertahanan mereka terhadap bahasa Indonesia karena memang banyak ranah sosial yang tadinya menggunakan bahasa Loloan atau bahasa Bali tapi kini mulai menggunakan bahasa Indonesia seperti ranah keluarga, pemerintahan, kekariban, keagamaan, pendidikan, dan perdagangan. Sehingga dapat disimpulkan:
1.      Penggunaan bahasa B2 milik mayoritas oleh minoritas bilingual tidak selalu mengakibatkan pergeseran atau punahnya B1 milik kelompok minoritas.
2.      Penguasaan B2 yang dalam hal ini adalah bahasa Indonesia oleh kelompok minoritas juga tidak memunahkan B1 namun hanya menggeser beberapa peran B2 lama (bahasa Bali) dan beberapa peran B1.


DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolingistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta